Rabu, 11 Februari 2009

MENTAUHIDKAN TUHAN

Mentawhidkan Tuhan
Seperti telah ditegaskan di atas, maka sekadar percaya akan wujudnya Tuhan tidaklah membuat seseorang menjadi seorang Islam (Muslim), karena orang yang dikatakan kafir pun percaya akan wujudnya Tuhan Maha Pencipta 'alam. Al-Qur'an sendiri, dalam hal ini, menceritakan kenyataan ini di dalam peristiwa kejadian manusia dan syaithan dengan jelas sekali. Di dalam surat Al-Baqarah 30-34 bisa kita fahami peristiwa ini.
"Tatkala Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: 'Aku hendak jadikan khalifah di muka bumi".
"Mereka berkata: 'Masakan Engkau akan menjadikan orang yang kerjanya akan membuat kerusakan serta berselisih satu sama lain sampai menumpahkan darah; Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mengkuduskan asma-Mu'. "
"Tuhan menjawab: 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui'."
"Selanjutnya, Allah mengajari Adam tentang asma (attribute = ciri-ciri) 'alam sekitarnya. Sesudah itu Allah menghadapkan Adam dengan para malaikat semuanya seraya bersabda kepada malaikat: 'Sebutkan kepada-Ku ciri-ciri semua itu, jika kamu memang benar'."
"Mereka menjawab: 'Mahasuci Engkau! Tiada kami mengetahui, selain yang telah Kau ajarkan kepada kami, Kaulah Yang Mahatahu dan Mahabijaksana'. "
"Allah berfirman: 'Hai Adam, sebutkan bagi mereka akan ciri-ciri semuanya'. Maka setelah ia menyebutkan ciri-ciri semua itu, Allah berfirman: 'Bukankah telah Ku-katakan kepada kalian, bahwa Aku mengetahui yang ghaib di langit dan di bumi, bahkan Aku tahu apa yang kalian nyatakan dan sembunyikan."
Maka ketika Kami perintahkan kepada para malaikat: Sujudlah kamu sekalian kepada Adam, merekapun sujud, kecuali iblis, ia enggan dan menyombongkan diri, maka termasuklah ia ke dalam golongan pengingkar"
Dalam surat Al-A'raf ayat 12-18, Allah menceritakan kembali kejadian pengingkaran iblis ini sebagai berikut: "(Allah) bertanya: 'Apakah gerangan yang menghalangimu bersujud, padahal telah Kuperintahkan kepadamu?' Iblis menjawab: 'Bukankah aku lebih baik daripadanya, Kau telah ciptakan aku dari api, sedangkan ia hanyalah dari tanah'."
"(Allah) berfirman: 'Enyahlah kau dari sini! Tak pantas kau menyombongkan diri disini. Keluarlah! Sungguh, kamu tergolong orang yang hina'."
"(Iblis) berkata: 'Berilah aku kesempatan sampai hari neraka kelak dibangkitkan'."
"(Allah) berfirman: '(Baiklah), kau diberi penangguhan waktu'."
"(Iblis) berkata: 'Karena Engkau telah mengusir (dan menghukum) aku, maka aku akan menggoda mereka di jalan-Mu yang lurus'."
'Maka akan kudatangi mereka dari depan dan dari belakang, dari kanan dan dari kiri, sehingga akan Kau dapati, bahwa kebanyakan mereka tiada 'kan bersyukur.
"(Allah) berfirman: 'Keluarlah kamu dari sini, dibenci dan terusir. Barang siapa di antara mereka mengikutimu, akan Kuisi jahanam dengan kamu sekalian'."
Dari peristiwa yang diceritakan Allah dalam Al-Qur'an ini dapatlah kita ambil kesimpulan, bahwa iblis pun percaya dengan yakin akan wujud Allah. Ternyata iblis telah mengadakan tawar menawar dengan Allah, minta agar hukuman kepadanya ditangguhkan sampai hari ketika manusia, keturunan Adam, dibangkitkan kelak. Selain nabi Muhammad SAW, bukankah hanya iblis yang mendapat kesempatan bisa berdialog langsung berhadapan dengan Allah. Nabi-nabi lain, yang pemah memohon agar diberi kesempatan melihat Tuhan tidak ada yang berhasil, termasuk Nabi Musa AS. Dalam hal ini iblis rupanya telah mendapat kesempatan melebihi Musa AS. Sementara itu iblis pun telah bertekad akan menggoda manusia dari segala arah, sehingga kebanyakan manusia akan menjadi temannya nanti di neraka jahannam.
Kesimpulannya ialah, bahwa kesalahan iblis bukanlah "tidak percaya akan wujud Allah". Kesalahan Iblis yang sangat fatal ialah, bahwa ia telah menyombongkan diri dengan membanggakan asal-usul (keturunan)-nya yang telah diciptakan Allah dari api, sedang manusia hanyalah dari tanah. Kesombongannya itu telah menumbuhkan rasa iri hati kepada manusia yang ternyata lebih cerdas didalam memahamkan sifat-sifat alam, sehingga ia enggan mematuhi perintah Allah agar menghormati Adam.
Membesarkan diri (sombong) adalah penyakit yang paling dibenci oleh Allah, sehingga Rasul-Allah pernah mcngatakan: "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada rasa kibir (sombong) walaupun sebesar zarrah," (Muslim dan Tirmidzi)
Kita dapat menyimpulkan, bahwa rasa kibir (membesarkan diri) ini adalah penyakit jiwa yang sengaja ditularkan iblis kepada manusia sesuai dengan tekadnya yang disebutkannya di hadapan Allah ketika ia akan meninggalkan hadhirat Allah dalam peristiwa tersebut di atas. Bukankah banyak di antara manusia yang merasa diri mereka lebih hebat dari orang lain hanya karena keturunan mereka?
Gelar-gelar kebangsawanan seperti Raden (di Jawa), Tengku (di Sumatera/Malaysia), bahkan Sayid (yang mengaku keturunan Nabi, walaupun Rasul Allah tak sempat punya anak lelaki) tetap saja dipentingkan sebahagian manusia yang sempat kejangkitan penyakit iblis ini. Segala macam alasan dicarikan dan diciptakan demi mempertahankan status kebangsawanan ini, apalagi jika status ini erat hubungannya dengan keuntungan-keuntungan politis dan ekonomis. Mereka yang kebetulan bisa meyakinkan masyarakat, bahwa mereka berdarah bangsawan akan menuntut kepada masyarakat tersebut, agar mereka diperlakukan istimewa serta menuntut hak-hak yang lebih dari manusia lain.
Jika masyarakat kebetulan berjiwa budak atau berwatak "nrimo", maka mereka yang berstatus bangsawan ini akhirnya akan lebih mengukuhkan hak-hak istimewa mereka dengan berbagai cara. Biasanya dengan menciptakan apa yang selalu dinamakan "tradisi" atau "adat isti'adat nenek moyang" atau "nilai-nilai leluhur" dan sebagainya. Sejarah kemanusiaan penuh dengan peristiwa-peristiwa seperti ini, baik di Timur maupun di Barat. Karena itu sikap "nrimo'' juga termasuk watak tercela dalam Islam. Ayat-ayat al-Qur'an sangat tajam mengkritik watak "nrimo" atau sikap kurang kritis ini.
"Janganlah ikuti apa yang tiada kamu ketahui. Sungguh, pendengaran, penglihatan, dan perasaan hati, masing-masing akan dimintai pertanggungjawaban. (Q. 17:96)
Sikap mengagung-angungkan nilai-nilai atau ajaran-ajaran nenek moyang tanpa kritis pun sangat dicela oleh Allah di dalam al-Qur'an:
"Apabila dikatahan kepada mereka: 'Marilah turuti apa yang diturunkan Allah dan yang telah diikuti Rasul.' Mereka menjawab: 'Cukuplah bagi kami apa yang telah diajarkan oleh leluhur kami. 'Sekalipun leluhur mereka itu tiada mengetahui sesuatu dan tiada mendapat petunjuk." (Q. 5:104)
Ayat-ayat seperti ini ada beberapa kali diulang Allah di dalam kitab-Nya, misalnya; Q. 7:28; 26:75 dan 31:22.
Di masa hidup Rasul-Allah-pun para shahabat yang sudah terbiasa hidup dan dibesarkan di zaman feodal jahiliah pernah mengagungkan Rasul sedemikian rupa, sehingga Rasul terpaksa melarang dengan tegas. Ketika beberapa orang shahabat sedang duduk-duduk berdiskusi tiba-tiba Rasul masuk ke dalam majelis mereka. Demi hormat mereka kepada Rasul, maka mereka serentak berdiri menyambut Rasul, namun Rasul bersabda:
"Duduklah, jangan kalian perlakukan (hormati) aku seperti orang-orang musyrik memperlakukan kaisar mereka atau ummat Nasrani menghormati Isa Al-Masih."
Di dalam kesempatan lain ketika Rasul-Allah mendengar ada di antara shahabat yang menyebut nama beliau didahului dengan perkataan "Saidina", beliau menegur dan mclarang shahabat ini. Pernah seorang lelaki kampung datang menjumpai beliau. Oleh karena wibawa beliau yang demikian agungnya, lelaki ini gemetar seperti ketakutan, schingga akhirnya ia jatuh dan bersujud di kaki beliau, maka Rasul-Allah langsung menegur:
"Janganlah begitu. Sesungguhnya aku ini hanya manusia biasa, anak seorang perempuan 'Arab yang biasa makan dendeng". (H.R. Muslim)
Sikap sombong telah menyebabkan iblis ingkar (kufur) kepada Allah. Iblis enggan mematuhi perintah Allah, agar memberi hormat kepada Adam, yang telah dibuktikan Allah mampu menguasai 'ilmu pengetahuan tentang 'alam sekitarnya (science), yang tak dapat difahami iblis. Kesombongan iblis ini ternyata hanyalah sekadar kompensasi terhadap ketidak-mampuannya berfikir scientific (memahami attribute 'alam). Inilah barangkali sebabnya mengapa orang-orang yang mampu berfikir scientific dan betul-betul menguasai science tidak ada yang percaya kepada tahayul dan klenik, karena klenik dan tahayul tiada lain hanyalah 'ilmu iblis.
Tetapi, yang paling menarik dalam peristiwa ini ialah sekadar percaya akan wujud Allah tidaklah cukup. Yang paling utama di dalam hubungan makhluk dengan Allah ialah kepatuhan yang bulat hanya kepada-Nya. Inilah intisari sesungguhnya dari ajaran Islam, yaitu mentawhidkan atau mengesakan Allah, yang berarti meletakkan Allah dan semua perintah-perintah-Nya di atas segala-galanya, terutama di atas kepentingan dan keinginan pribadi. Oleh karena itu mentawhidkan Allah jauh lebih sukar dari sekadar mempercayai akan wujud Allah. Mentawhidkan Allah membutuhkan suatu perjuangan berat, dan kemampuan menghayati sikap bertawhid secara tetap (consistent) merupakan suatu prestasi yang paling mulia, karena itu pula pantas mendapat ganjaran yang paling tinggi.
Mentawhidkan Allah pada hakekatnya merupakan kebutuhan manusia di dalam menjalani hidupnya di dunia ini, baik secara pribadi maupun demi kebahagiaan hidup manusia di dalam hubungannya dengan manusia yang lain. Namun, sebelum kita dapat menghayati tawhid perlulah kita memahaminya dengan tepat lebih dahulu. Inilah, insya Allah, yang akan kita bahas di dalam buku kecil ini.


Referensi :
Kuliah Tauhid
Ir. Muhammad 'Imaduddin 'Abdulrahim M.Sc.
Diterbitkan oleh Pustaka-Perpustakaan Salman ITB
Bandung, 1400H, 1980
Cetakan 1, 1979, dan cetakan 2 1980
(Muhammad 'Imaduddin 'AbdulRahim Ph.D., KULIAH TAWHID, Yayasan Pembina Sari Insan (YAASIN),
Jakarta, 1993)
lowongan kerja di rumah

Tidak ada komentar: